BAB II
KAJIAN TEORI
A. Belajar dan Pembelajaran
“Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
melalui pendidikan. Perubahan tidak hanya mengenai sejumlah pengetahuan,
melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian,
penghargaan, minat, penyesuaian diri dan mengenai segala aspek organisme atau
pribadi seseorang”.[16]
Dari kutipan di atas
menunjukkan bahwa belajar dapat merubah tingkah laku seseorang, perubahan itu
terjadi disebabkan oleh pengalaman dan latihan-latihan yang dilakukan oleh
belajar tersebut. Selanjutnya Winkel menjelaskan tentang pengertian belajar
sebagai berikut “Belajar adalah suatu proses mental yang mengarah kepada
penguasaan pengetahuan, kecakapan/skill, kebiasaan atau sikap yang semuanya
diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkat laku yang
progressif dan adaptif”.[17]
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa belajar bukan hanya mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan,
melainkan lebih dari itu, karena berhubungan dengan pembentukan sikap, nilai,
keterampilan dan pengetahuan, sehingga siswa yang belajar dapat mengadakan
reaksi dengan lingkungannya secara intelektual, menyesuaikan diri untuk menuju
kearah kemajuan dalam melakukan perbaikan tingkah laku sebagai hasil belajar.
Defenisi lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Hudoyo mengemukakan : “Belajar
merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah
laku yang relatif lama/menetap”.[18] Perubahan
tingkah laku tersebut merupakan suatu tujuan akhir dari suatu proses belajar, oleh
karenanya proses belajar harus dilakukan secara berkesinambungan.
Perubahan tingkah laku yang berlaku dalam waktu yang
relatif lama itu dan disertai oleh usaha orang tersebut, sehingga dari tidak
mampu mengerjakan sesuatu menjadi mampu mengerjakannya. Tanpa usaha, walaupun
terjadi perubahan tingkah laku bukanlah belajar. Kegiatan dan usaha untuk
mencapai perubahan tingkah laku itu merupakan proses belajar. Sedangkan
perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa belajar itu menyangkut proses belajar dan hasil
belajar, maka orang tersebut baru mencapai tujuan belajar sementara.
Manusia sebagai makhluk sosial dan budaya yang selalu
menciptakan pembaharuan, maka manusia yang tidak hanya meniru apa yang talah
diciptakan oleh nenek moyang. Untuk itu manusia harus belajar agar ia mampu
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya secara optimal, sehingga ia
dapat berkarya demi kemakmuran hidupnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Fathurrahman mengemukakan bahwa “Belajar adalah segenap rangkaian/aktifitas yang dilakukan secara
sadar oleh seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya sendiri, berupa
penambahan pengetahuan atau kemahiran yang bersifat sedikit banyak
permanen".[19]
Selanjutnya Sardiman mendefenisikan belajar sebagai berikut : “Belajar adalah suatu pertumbuhan
atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah
laku yang baru berkat pengalaman dan latihan”.[20]
Karena itu jelaslah bahwa, belajar merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan
mengadakan perubahan dalam diri seseorang. mencakup perubahan tingkah laku,
sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sebagainya.
Defenisi lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Lismawati,
“Belajar adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan dalam tingkah laku atau
kecakapan manusia, yang bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat
fisiologis”.[21]
Hal ini dimaksudkan bahwa dalam proses belajar itu akan terjadi perubahan
tingkah laku pada diri seseorang yang meliputi pengamatan, perasaan, dan
sebagaimana yang bukan disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan. Selanjutnya
Muhibbin Syah mengemukakan, “Belajar merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan
hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif lama/menetap”.[22]
Menurut Hasbullah bahwa “Belajar adalah suatu proses
mental yang mengarah pada penguasaan pengetahuan, kecakapan/skil, kebiasaan
atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga
menimbulkan tingkah laku progresif dan adaptif”.[23] Oleh karenanya, belajar adalah suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus dan
tidak mempunyai titik akhir. Apabila seseorang telah mencapai suatu pestasi
belajar, maka orang tersebut baru mencapai tujuan belajar sementara.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang
diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu
peserta didik agar dapat belajar dengan baik.[24]
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang
mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan
menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek
kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan
(aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi
kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja.
Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan
peserta didik.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari
motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi
tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut
akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat
diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar.
Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah
dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target
belajar.
Proses pembelajaran pada
hakikatnya merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari
sumber pesan melalui saluran atau media tertentu kepenerima pesan.
B. Teori Belajar Konstruktivisme
Pembelajaran konstruktivisme adalah salah
satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pembelajaran konstruktivis merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling
bekerja dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran
konstruktivis, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam
kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Yuwono, mengatakan bahwa konstruktivisme
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan, pengetahuan bukan merupakan suatu gambaran dari kenyataan yang
ada. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan
melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep dan struktur
pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan lebih menunjukkan pada
pengalaman seseorang akan dunia, tanpa pengalaman seorang tidak dapat membentuk
pengetahuan.[25].
Lebih
lanjut Suparno menjelaskan dalam bukunya tentang pembelajaran konstruktivisme
bahwa:
Guru tidak sekedar memberi
pengetahuan pada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan yang
ada dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran
dengan memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide
mereka sendiri dan mengajak siswa menjadi sadar menggunakan metode mereka
sendiri untuk belajar. Pengetahuan yang dibangunnya sendiri dimanfaatkan untuk
menghadapi pengalaman baru di alam sekitarnya.[26]
Dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme diharapkan siswa tidak hanya tergantung
dari guru saja. Siswa harus lebih aktif dalam mencari segala sesuatu yang akan
atau sudah dipelajari, tidak hanya menghafal materi yang sudah diajarkan saja
tetapi harus benar-benar dipahami, sehingga pengetahuan lebih menunjukkan pada
pengalaman seseorang akan dunia. Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat
membentuk pengetahuan, karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang harus
ditransfer begitu saja dari benak guru ke dalam benak siswa. Dengan demikian
guru hanya bersifat mengarahkan, tidak ikut campur tangan penuh dalam proses
belajar. Siswa dituntut untuk mandiri dan aktif mencari sendiri segala sesuatu
yang berhubungan dengan materi yang dipelajari baik dalam diskusi maupun
individu.
Suparno,
mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruksivisme
antara lain:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif,
2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa,
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar,
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil
akhir,
5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan
6.
Guru adalah fasilitator.[27]
De Vries
dan Kohlberg dalam Suparno mengikhtisarkan beberapa langkah konstruktivisme
yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:
1.
Menyediakan pengalaman belajar
yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan
penelitian.
2.
Menyediakan atau memberikan
kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk
mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.
Memonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru juga membantu
mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.[28]
Julian
dan Duckworth dalam Suparno telah merangkum hal-hal penting yang harus
dilakukan seorang guru dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis,
yaitu sebagai berikut.
1.
Guru perlu mendengarkan secara
sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data yang ditemukan sambil menaruh
perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan kebingungan setiap murid.
2.
Guru
perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan
penghargaan kepada siswa.
3.
Guru
perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek dalam
proses belajar, karena “tidak mengerti” merupakan langkah awal untuk memulai.[29]
Berdasarkan kutipan diatas
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran konstruktivisme keterlibatan siswa dalam
pembelajaran sangat aktif dan kreatif, sementara guru harus secara
sungguh-sungguh memperhatikan terhadap apa yang dilakukan siswa dalam kelompok
belajar di kelas, dan hal yang penting harus diperhatikan dalam pembelajaran
tersebut adalah guru harus memberika bimbingan secara merata kepada setiap
kelompok.
C. Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Triyanto “Cooperative mempunyai pengertian yaitu mengerjakan sesuatu secara bersama-sama
dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim untuk mencapai tujuan bersama. Belajar kooperatif merupakan suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan
untuk membantu siswa satu dengan siswa yang lain dalam mempelajari sesuatu”.[30] Sementara itu, Sudjana
mengungkapkan bahwa “pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang
yang mempunyai latar belakang kemampuan
akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda/heterogen”.[31]
Karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Slavin adalah sebagai berikut
:
1.
Tujuan kelompok, yaitu:
kelompok merupakan tujuan, sehingga kelompok harus mampu
membuat setiap siswa belajar.
2.
Tanggung jawab individual, yaitu: menjadikan setiap anggota kelompoknya menjadi lebih kuat pribadinya.
3.
Kesempatan sukses yang sama, yaitu: semua siswa
mendapat kesempatan yang sama untuk berkonstribusi dalam timnya.
4.
Kompetisi tim, yaitu: sarana
untuk memotivasi siswa dalam bekerja samadengan anggota timnya.
5.
Spesialisasi tugas,
yaitu: tiap siswa diberikan tanggung jawab khusus untuk sebagian
tugas kelompok.
6.
Adaptasi terhadap
kebutuhan kelompok, yaitu: kebanyakan pembelajaran kooperatif
menggunakan pengajaran yang mempercepat
langkah kelompok dan mengadaptasi
pengajaran terhadap kebutuhan individual.[32]
Sementara
prinsip pembelajaran kooperatif menurut Sudjana
adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip ketergantungan positif, yaitu:
keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja
masing-masing anggota, sehingga semua anggota dalam kelompok akan merasa saling
ketergantungan.
2.
Tanggung jawab perseorangan, yaitu: keberhasilan kelompok
tergantung
pada setiap anggotanya, maka
setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.
3.
Interaksi tatap muka, yaitu: memberi ruang dan kesempatan
yang luas kepada setiap anggota
kelompok untuk bertatap muka, saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.
4.
Partisipasi dan
komunikasi, yaitu: melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi sebagai bekal mereka dalam kehidupan di
masyarakat kelak.[33]
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah bahwa prinsip dari pembelajaran kooperatif adalah
adanya ketergantungan antara satu siswa dengan siswa lainnya dalam kelompok
kerja siswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru dalam proses
belajar. Prinsip ketergantungan tersebut akan memperkuat sikap tanggung jawab
siswa dalam belajar, sehingga hal tersebut dapat melatih diri siswa untuk berkomunikasi
sesame siswa, dan berkomunikasi dengan guru sebagai pembimbing dan pemberi
pelajaran serta komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Nasution mengemukakan bahwa ada tiga
tingkatan dalam keterampilan-keterampilan kooperatif,
yaitu sebagai berikut:
1. Keterampilan kooperatif tingkat
awal, yang meliputi: menggunakan kesepakatan, menghargai konstribusi, mengambil
giliran dan berbagi tugas, berada dalam kelompok,
berada dalam tugas, mendorong partisipasi, mengundang orang lain untuk berbicara, menyelesaikan tugas pada
waktunya, dan menghormati perbedaan
individu.
2. Keterampilan kooperatif
tingkat menengah, yang meliputi: menunjukkan penghargaan dan simpati,
mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, mendengarkan dengan aktif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan,
mengatur dan mengorganisir, menerima tanggung jawab, dan mengurangi ketegangan.
3. Keterampilan
kooperatif tingkat mahir, yang
meliputi: mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran,
menetapkan tujuan dan berkompromi.[34]
Berdasarkan
kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa dibimbing
tahap demi tahap, tuntutan kepada siswa dilakukan secara pelan-pelan sehingga
siswa tidak merasa berat dalam menyelesaikan tugas, karena pembelajaran yang
dilakukan tahap demi tahap dari tahap yang mudah sampai akhirnya ke tahap yang
susah.
Siswono menjelaskan bahwa unsur-unsur
dasar dalam pembelajaran cooperative
adalah sebagai berikut:
a. Para siswa harus memiliki persepsi
bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama.
b. Para siswa harus memiliki tanggung
jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung
jawab terhadap diri sendiri mempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa
mereka semua memiliki tujuan yang sama
d. Para siswa harus membagi tugas dan
berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok.
e. Para siswa harus diberikan satu
evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi
kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan
sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Setiap siswa akan diminta
mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok
kooperatif.[35]
Berdasarkan kutipan di
atas menjelaskan bahwa dalam pembelajaran cooperative
tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari
keterampilan-keterampilan cooperative
itu berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan
dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antara anggota kelompok.
Pembelajaran cooperative memungkinkan siswa untuk
saling bertukar pengetahuan walaupun memiliki tingkat kemampuan berbeda-beda.
Menurut Thompson,
Pembelajaran cooperative turut menambah unsur-unsur interaksi sosial. Didalam pembelajaran cooperative siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun
dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang siswa, dengan kemampuan
heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan
siswa dan jenis kelamin dan suku.[36]
Hal ini bermanfaat
untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda
latar belakangnya. Pada pembelajaran cooperative
diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik
di dalam kelompoknya, misalnya dengan memberi lembar kegiatan yang berisi
pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan, semua anggota kelompok
harus bekerja dan bertanggung jawab dalam mencapai ketuntasan belajar.
Dalam Pembelajaran matematika di
tingkat Sekolah Menengah, maka salah satu pendekatan yang cocok untuk
diterapkan adalah melalui pendekatan cooperative.
Karena melalui pembelajaran cooperative siswa
dapat mengembangkan sikap saling kerja sama secara efektif dan efesien.
Hal tersebut dikarenakan,
pembelajaran cooperative didasarkan
atas pandangan konstruktivis yang dinyatakan oleh Herman Hudoyo bahwa,
anak secara aktif membentuk konsep, prinsip
ataupun teori yang dipelajarinya. Mereka tidak begitu saja menerima secara
mentah-mentah segala macam konsep, prinsip dan teori yang disajikan kepadanya.
Mereka mengolahnya secara aktif, menyesuaikan dengan skema pengetahuan yang
sudah dimiliki dalam struktur kognitifnya, dan menambah atau menolaknya.[37]
Berdasarkan penjelasan
di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran cooperative individu dapat membentuk pengetahuan baik secara
individual maupun secara berkelompok, maka pembelajaran cooperative akhir-akhir ini menjadi model pembelajaran yang sangat
dianjurkan karena pembelajaran cooperative
memberikan kesempatan kepada individu untuk secara aktif membuat abstraksi, dan
penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada kelompoknya justru membantu dirinya
sendiri lebih memahami materi tersebut.
D. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Model
pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam
tutorial. Ibrahim, M mengatakan bahwa “model pembelajaran mengacu pada
pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan
pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran,
dan pengelolaan kelas”.[38]
Dalam pembelajaran cooperative tidak hanya mempelajari
materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan cooperative itu berfungsi untuk
melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan dapat dibangun dengan
mengembangkan komunikasi antara anggota kelompok.
Trianto
menjelaskan bahwa,
model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.[39]
Merujuk
pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran memberikan
kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Fungsi
model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para
guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh sifat materi yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai
dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik. Beberapa
macam model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar yaitu:
pengajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif,
pengajaran berdasarkan masalah (problem base instruction), dan diskusi.
Pembelajaran
kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur
tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang belajar dalam kondisi
pembelajaran kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada
suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk
menyelesaikan tugasnya.
Ibrahim,
M, mengatakan bahwa “model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head
Together (NHT) merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Kagen
untuk melibatkan banyak siswa dalam memperoleh materi yang tercakup dalam suatu
pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran”.[40] Lebih lanjut Herdiyan mengatakan
bahwa “Numbered Heads Together adalah suatu model pembelajaran yang lebih
mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan
informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas”.[41]
Struktur
yang dikembangkan dalam pembelajaran ini menghendaki siswa belajar saling
membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif
dari pada penghargaan individual. Ibrahim, M menjelaskan bahwa “Ada struktur yang
memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula
struktur yang tujuannnya untuk mengajarkan keterampilan sosial”.[42] Model NHT adalah bagian dari
model pembelajaran kooperatif struktural, yang menekankan pada
struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi
siswa. Struktur Kagan
menghendaki agar para siswa bekerja saling bergantung pada kelompok-kelompok
kecil secara kooperatif.
Struktur
tersebut dikembangkan sebagai bahan alternatif dari sruktur kelas tradisional
seperti mangacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru
untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. “Suasana seperti ini menimbulkan
kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut dalam mendapatkan
kesempatan untuk menjawab pertanyaan peneliti”.[43]
Ibrahim
mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif
dengan tipe NHT yaitu:
1.
Hasil belajar akademik stuktural, bertujuan untuk meningkatkan kinerja
siswa dalam tugas-tugas akademik.
2.
Pengakuan adanya keragaman, bertujuan agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.
3.
Pengembangan keterampilan sosial, bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi
tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau
pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.[44]
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) dikembangkan oleh Spencer Kagen
dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu
pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran
tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, menurut
Ibrahim, guru menggunakan struktur empat langkah sebagai berikut:
Langkah 1, penomoran (numbering):
guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3
hingga 5 orang dan memberi mereka nomor, sehingga tiap siswa dalam tim tersebut
memiliki nomor yang berbeda.
Langkah 2, pengajuan pertanyaan: guru mengajukan suatu pertanyaan kepada
siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang
bersifat umum.
Langkah 3, berpikir bersama (Head Together): para siswa berpikir bersama
untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban
tersebut.
Langkah 4, pemberian jawaban: guru menyebutkan suatu nomor dan para siswa
dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban untuk seluruh kelas.[45]
a. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi
b. Memperbaiki kehadiran
c. Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar
d. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
e. Konflik antara pribadi berkurang
f. Pemahaman yang lebih mendalam
g. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
h. Hasil belajar lebih tinggi.[46]
b. Memperbaiki kehadiran
c. Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar
d. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
e. Konflik antara pribadi berkurang
f. Pemahaman yang lebih mendalam
g. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
h. Hasil belajar lebih tinggi.[46]
Kelebihan
dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagaimana dijelaskan oleh Hill (dalam
Ibrahim ) bahwa model NHT dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, mampu
memperdalam pamahaman siswa, menyenangkan siswa dalam belajar, mengembangkan
sikap positif siswa, mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa
ingin tahu siswa, meningkatkan rasa percaya diri siwa, mengembangkan rasa
saling memiliki, serta mengembangkan keterampilan untuk masa depan.
Oleh
karenanya, jelaslah bahwa pembelajaran dengan menerapkan model kooperatif tipe
NHT merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap
struktur kelas tradisional. Model pembelajaran ini lebih mengedepankan
aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan
informasi dari berbagai sumber yang akan dipresentasikan di depan kelas. Model
pembelajaran ini selalu diawali dengan membagi kelas menjadi
beberapa kelompok. Masing-masing siswa dalam kelompok sengaja
diberi nomor untuk memudahkan kinerja kelompok, mengubah posisi kelompok,
menyusun materi, mempresentasikan, dan mendapat tanggapan dari kelompok
lain.
E. Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Salah
satu tindakan yang dapat dilaksanakan untuk alternatif pemecahan problematika
pembelajaran materi bangun datar segi empat adalah dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu dengan melakukan diskusi, praktikum, dan
pengamatan dengan objek asli. Jadi guru, “meminta siswa untuk menyelidiki
dengan membangun pengetahuan dalam benak siswa terlebih dahulu yaitu dengan
mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sehingga
dalam pembelajaran, motivasi, kreatifitas dan hasil belajar siswa meningkat”.[47]
Pelaksanakan tindakan dan solusi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Menurut Suyono, sintaks Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT adalah:
No Tingkat Pembelajaran Kegiatan
Guru
(1) (2) (3)
1 Tingkat I -
Menjelaskan tujuan pembelajaran khusus
(indicator)
Persiapan
- Menginformasikan latar belakang materi dan
pentingnya materi
(1) (2) (3)
-Mempersiapkan siswa untuk belajar
2 Tingkat II - Guru
menjelaskan secara singkat tentang materi
Pencapaian -
Menyajikan informasi setahap demi
setahap
-
Guru membagikan LKS kepada
siswa
-
Guru membimbing siswa dalam
mengisi LKS melalui kegiatan percobaan /praktikum
-
Guru meminta siswa untuk
mempresentasikan hasil
kerja kelompoknya ke depan kelas
-
Guru member kesempatan kepada
siswa untuk
mengajukan pertanyaan
-
Pemanjangan hasil
3 Tingkat III
- Keaktifan siswa dalam bekerja kelompok
Penilaian -
Evaluasi dalam bentuk essay
4 Tingkat IV -
Siswa tuntas belajar
Pencapaian
Akhir - Siswa
kreatif dan antusias dalam belajar.[48]
Berdasarkan
tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dalam model pembelajaran kooperatif tipe
NHT maka kreatifitas guru dan siswa sangat menonjol, hal ini dikarenakan guru
diharapkan mampu membimbing siswa secara merata ke setiap kelompok kerja siswa,
sehingga tidak ada siswa yang merasa tidak diperhatikan oleh gurunya. Sementara
dari pihik siswa juga dituntut untuk sangat kreatif dalam menyelesaikan masalah
yang diberikan oleh gurunya untuk diselesaikan dalam kerja kelompok siswa
masing-masing. Kekreatifitas siswa akan terbentuk dikarenakan bimbingan guru
yang diberikan secara adil ke setiap kelompok kerja siswa sehingga terbentuklah
suasana pembelajaran yang sangat menyenangkan. Dan hal inilah yang menyebabkan
pencapaian hasil belajar siswa dapat tercapai secara efektif dan efesien.
F. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Suyono mengatakan
bahwa setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan
model pembelajaran kooperatif model NHT adalah:
- Setiap anggota kelompok
harus mengetahui jawaban yang merupakan hasil diskusi dari jawaban pertanyaan
yang diberikan oleh guru.
- Dalam belajar
matematika dengan menggunakan model ini, setiap peserta didik mempunyai
nomor yang berbeda dari peserta didik lainnya.
- Setiap peserta
didik mempunyai kesempatan dalam menjawab soal matematika yang diberikan
guru.
- Peserta didik
dituntut untuk bekerja sama dalam kelompok kecil untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada dalam pelajaran matematika.
- Guru matematika
memperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok-kelompok belajar, dan
- Memudahkan
peserta didik dalam memahami konsep matematika atau menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.[49]
Lebih lanjut Suyuno
menjelaskan bahwa kelemahan dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam
suatu pembelajaran adalah:
- Diperlukan
biaya dan waktu yang lama untuk pembuatan perangkat pembelajaran.
- Apabila jumlah
kelompok dalam kelas besar, guru
matematika akan mengalami kesulitan untuk membimbing tiap kelompok yang
membutuhkan bimbingan untuk memecahkan soal-soal yang diberikan oleh guru.
- Peserta didik
yang pandai dalam matematika mempunyai kemungkinan tidak mau membantu
temannya yang mengalami kesulitan dalam memecahkan soal matematika yang
diberikan oleh guru.[50]
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa dalam
proses pembelajaran kooperatif tipe NHT juga terdapat kelebihan dan
kelemahannya. Oleh karena itu dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT guru harus
mampu melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan efesien berdasarkan
langkah-langkah yang telah ditentukan menurut konsep yang sebenarnya.
G. Materi Bangun Datar Segi Empat
Materi bangun datar segi empat
berkaitan materi sudut, garis-garis sejajar, operasi bilangan bulat, dan
bilangan pecahan . Penjelasan kali ini kita akan membahas mengenai Bangun Datar
Segi Empat yang terdiri dari : Persegi panjang, Persegi, Jajargenjang, Belah
Ketupat, Layang - layang , dan Trapesium.
1.
Persegi Panjang
Sifat-sifatnya:
·
Sisi yang berhadapan sama
panjang
·
Sisi yang berhadapan sejajar
·
Tiap-tiap sudutnya sama besar
·
Tiap-tiap sudutnya merupakan
sudut siku-siku
Dari sifat-sifat diatas dapat
disimpulkan adalah: Persegi Panjang adalah segi empat yang keempat sudutnya siku-siku dan sisi-sisi
yang berhadapan sama panjang dan sejajar.
2.
Persegi
Sifat-sifatnya:
·
Sisi yang berhadapan sama
panjang dan sejajar
·
Diagonalnya sama panjang
·
Diagonalnya berpotongan membagi
dua sama panjang
Dari sifat-sifat
diatas dapat disimpulkan adalah: Persegi
adalah persegi panjang yang keempat sisinya sama panjang.
3.
Jajar Genjang
Jajar genjang dapat dibentuk dari
gabungan sebuah segitiga dan bayangannya setelah diputar setengah putaran
dengan pusat titik tengah salah satu sisinya.
Sifat-sifatnya:
·
Sisi yang berhadapan sama
panjang dan sejajar
·
Sudut-sudut yang berhadapan
sama besar
·
Jumlah besar sudut-sudut yang
berdekatan adalah 180 derajat
·
Kedua diagonal pada setiap
jajargenjang saling membagi dua sama panjang
4.
Belah Ketupat
Belah ketupat dibentuk dari
gabungan segitiga sama kaki dan bayangannya setelah dicerminkan terhadap
alasnya.
Sifat-sifatnya:
·
semua sisi sama panjang
·
kedua diagonal merupakan sumbu
simetri
·
sudut-sudut yang berhadapan
sama besar dan dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya
·
kedua diagonal saling membai
dua sama panjang dan saling berpotongan tegak lurus
5.
Layang-layang
Layang - layang dibentuk dari gabungan dua
segitiga sama kaki yang panjang alasnya sama dan berimpit.
Sifat-sifatnya:
·
Masing-masing sepasang sisinya
sama panjang
·
Terdapat sepasang sudut
berhadapan yang sama besar
·
Salah satu diagonalnya sumbu
simetri
·
Salah satu diagonalnya membagi
dua sama panjang diagonal lain dan tegak lurus dengan diagonal itu.
6.
Trapisium
Sifat-sifatnya adalah jumlah sudut yang berdekatan di antara dua sisi sejajar. Berdasarkan sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan bahwa trapesium adalah segi empat dengan tepat
sepasang sisi yang berhadapan sejajar.
H. Langkah Pembelajaran Materi Bangun Datar Segi Empat Dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe NHT
Menurut Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP)
bahwa fase-fase yang harus ditempuh dalam penerapan model kooperatif tipe NHT
adalah :
a.
Fase
membaca, menerjemahkan dan memahami masalah. Pada fase ini siswa harus memahami
permasalahannya dengan jelas. Apabila dipandang perlu membuat rencana apa yang
harus dikerjakan, mengartikan persoalan menurut bahasa mereka sendiri dengan jalan berdiskusi dalam kelompoknya, yang
kemudian mungkin perlu didiskusikan dengan kelompok lain. Jadi pada fase ini
siswa memperlihatkan kecakapannya bagaimana ia memulai pemecahan suatu masalah,
dengan :
1. Menginterpretasikan soal berdasarkan
pengertiannya.
2. Membuat suatu kesimpulan tentang apa
yang harus dikerjakannya.
b.
Fase
pemecahan masalah. Pada fase ini mungkin saja siswa menjadi bingung apa yang
harus dikerjakan pertama kali, maka peran guru sangat diperlukan, misalnya
memberikan saran untuk memulai dengan suatu cara, hal ini dimaksudkan untuk
memberikan tantangan atau menggali pengetahuan siswa, sehingga mereka
terangsang untuk mencoba mencari cara-cara yang mungkin untuk digunakan dalam
pemecahan soal tersebut, misalnya dengan membuat gambar, mengamati pola atau
membuat catatan-catatan penting. Pada fase yang sangat menentukan ini siswa
diharuskan membuat konjektur dari jawaban yang didapatnya, serta mencek
kebenarannya, yang secara terperinci siswa diharap melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1) mendiskusikan dan memilih cara/strategi
untuk menangani permasalahan
2) memilih dengan tepat materi yang
diperlukan
3) menggunakan berbagai macam strategi
yang mungkin.
4) mencoba ide-ide yang mereka dapatkan
pada fase 1
5) memilih cara-cara yang sistematis
6) mencatat hal-hal penting
7) bekerja secara bebas atau bekerja
bersama-sama (atau kedua-duanya)
8) bertanya kepada guru untuk
mendapatkan gambaran strategi untuk penyelesaian
9) membuat konjektur atau kesimpulan
sementara
10) mencek konjektur yang didapat
sehingga yakin akan kebenarannya.
c.
Fase
menjawab dan mengkomunikasikan jawaban
Setelah
memecahkan masalah, siswa harus diberikan pengertian untuk mencek kembali hasilnya,
apakah jawaban yang diperoleh itu cukup komunikatif/dapat difahami oleh orang
lain, baik tulisan, gambar ataupun penjelasannya. Pada fase ini siswa dapat terdorong
untuk melihat dan memperhatikan apakah hasil yang dicapainya pada masalah ini dapat digunakan pada masalah lain. Jadi
pada intinya fase ini siswa diharapkan berhasil:
1)
mencek
hasil yang diperolehnya
2)
mengevaluasi
pekerjaannya
3)
mencatat
dan menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara
4) mentransfer keterampilannya untuk
diterapkan pada persoalan yang lebih kompleks.[51]
Slavin lebih lanjut menjelaskan bahwa ada
beberapa saran yang dapat membantu guru untuk menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT di dalam kelas.
a. biasakan setiap mengajar untuk
menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, dengan berbagai strategi
mengajar yang bervariasi.
b. jelaskan tentang tujuan pengajaran
yang diberikan, misalnya mengenai penggunaan matematika dalam pelajaran lain.
c. selalu memberikan dorongan, semangat
dan rasa percaya diri pada setiap siswa, hal ini sangat perlu, mengingat
kebanyakan siswa bersifat :
1)
kurang
pemahaman terhadap suatu permasalahan
2)
selalu
tergantung kepada apa yang diinstruksikan oleh guru
3)
sangat
kurang semangat untuk memulai
4)
memberi
jawaban yang hanya menerka
5)
hendaknya
memulai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dari permasalahan yang mudah dan
sederhana.
6) selalu mendiskusikan jawaban-jawaban
yang didapat oleh siswa, sehingga siswa yang satu dapat memahami dan menghargai
pendapat siswa lain.[52]
Sementara itu, Suparno merinci
lebih jelas langkah-langkah kegiatan pembelajaran matematika dengan penerapan
model kooperatif tipe NHT, yaitu :
1)
Menafsirkan/memahami masalah (interpreting)
2)
Eksplorasi secara spontan (exploring
spontaneously)
3)
Pengajuan pertanyaan (posing
problem)
4)
Eksplorasi secara sistematis (exploring
systematically)
5)
Mengumpulkan data (gathering
and recording data)
6)
Memeriksa pola (identifying
pattern)
7)
Menguji dugaan (testing
conjecture)
8)
Melakukan pencarian secara
informal (expressing finding informally)
9)
Simbolisasi (symbolising)
10) Membuat generalisasi formal (formalising generalitation)
11) Menjelaskan dan mempertahankan kesimpulan (explaining and
justifying)
12) Mengkomunikasikan hasil temuan (communicating finding).[53]
Slavin menjelaskan beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam
tahap persiapan model pembelajaran Kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut.
1)
Menentukan apakah kegiatan pembelajaran
matematika yang dilakukan untuk tahap penanaman konsep atau sebagai latihan
pengembangan kemampuan matematika siswa baik keterampilan, prosedur, maupun
proses.
2)
Menentukan tujuan pembelajaran
yang dapat dicapai melalui kegiatan pembelajaran matematika.
3)
Memilih pokok bahasan atau
konsep yang dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran.
4)
Mengembangkan Lembar Kerja
Siswa (LKS) yang dapat memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran
5)
Menyiapkan media manipulatif
yang diperlukan atau media lain yang dapat efektif digunakan dalam kegiatan pembelajaran
matematika.
6)
Menyiapkan setting kelas dalam
kelompok kecil.[54]
Oleh karenanya, menurut
Sudarsono pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi
pada:
1.
Pengetahuan dibangun dalam
pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2.
Dalam pengerjaan matematika,
setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
3.
Informasi baru harus dikaitkan
dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan,
mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
4.
Pusat pembelajaran adalah
bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.[55]
Pendapat sudarsono tersebut, dalam
pembelajaran matematika siswa mempunyai pengetahuan dalam berpikir melalui
proses akomodasi dan siswa juga harus dapat menyelesaikan masalah yang akan
dihadapinya. Siswa mengetahui informasi baru dikaitkan dengan pengalaman
sehari-hari secara logis, dalam pembelajaran ini harus bisa memahami dan
berpikir sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut, jadi tidak tergantung
kepada guru, siswa juga dapat mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan
masalah. Prinsip
penemuan dapat diinspirasikan oleh prosedur-prosedur pemecahan informal,
sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Ada dua
jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh
matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan
penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian
masalah dunia real ke dunia matematika. Contoh matematisasi vertikal adalah
representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyelesaian model
matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisasian. Kedua jenis ini mendapat perhatian
seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai yang sama. Berdasarkan
matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika
dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik,
dan realistik.
Pendekatan
mekanistik adalah pendekatan secara tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dan pengalaman sendiri. Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan
dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan dan siswa diharapkan dapat
menemukan sendiri melalui matematisasi horizontal, pendekatan strukturalistik
adalah suatu pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya dalam
pengajaran penjumlahan secara panjang perlu didahului dengan nilai tempat,
sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan
realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai
pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan
vertilal diharapkan siswa dapat menemukan konsep-konsep matematika.
[16] Sardiman, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 35.
[18] Hudoyo,
Herman, Mengajar Belajar Matematika, (Jakarta: Depdikbud, 2001), hal. 10.
[19]
Fathurrahman, Pupuh, Strategi Belajar
Mengajar, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 52.
[20] Sardiman, Interaksi..., hal. 73
[21]
Widya, Lisnawaty, Evaluasi Belajar
Mengajar, (Jakarta: Mutiara Permata, 2006), hal.. 30.
[22]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Cet.3, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 25.
[23] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,
Ed.1, Cet.2, Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 71
[24] Ibid, hal.
99
[25] Yuwono Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam
Prodes Belajar Mengajar, Bina Aksara, Jakarta ,
2002, hal. 51
[26] Suparno, P.
Filosofi Konstruktivisme dalam Pendidikan. Bandung : Pustaka Filosofi, 2002, hal. 23
[27] Ibid, hal.
24
[28] Ibid, hal.
70
[29] Ibid, hal. 68
[30]
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik Konsep, Landasan Teoritik Praktis dan Implementasinya, (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2007), hal.
71
[31] Sudjana, Model-Model
Belajar, (Jakarta : Erlangga, 2000), hal. 32.
[32]
Slavin, Robert. E, Cooperative Learning
(Teori, Riset, dan Praktik), (Jakarta: Nusa Media, 2000), hal, 26-28.
[33] Sudjana,
Model…., hal.
34-35.
[34]
Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam
Belajar Mengajar, (Bandung: Bina Aksara, 2001), hal. 102-103.
[35] (www///http=//re-searchengines.com/art
cooperative learning, Diakses 23 Maret 2012).
[36] Thomson, Frames of Minds; The Theory of Multiple Intelligence, (New York : Tenth-Anniversary
Edition. Basic Books, 2007), hal. 26.
[37]
Herman Hudoyo, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Dikti, 2008), hal. 21.
[38]
Ibrahim, M, dkk. Pembelajaran Kooperatif. (Surabaya: University Press, 2000), hal. 2
[39] Trianto, Model…, hal. 7.
[40]
Ibrahim, M, dkk. Pembelajaran…, hal. 28.
[41] Herdiyan, Model Pembelajaran NHT (Numbered Head
Together), (Jakarta : Direktorat
Pendidikan Sekolah Dasar, 2009),
hal. 92.
[42] Ibrahim, M, dkk, Pembelajaran …, hal. 25.
[43]
Sutaji, Imam. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Direktorat Pendidikan
Sekolah Dasar, 2001), hal.78.
[44]
Ibrahim, M, dkk. Pembelajaran…, hal. 29.
[45] Ibid, hal.
30.
[46] Ibid, hal.
18.
[47] Suyono. Aziz, Pendekatan
Keterampilan Proses Bagaimana Mengaktifkan Siswa Dalam Belajar. Jakarta : Gramedia, 2001, hal. 89
[48] Ibid. hal.
90
[49] Ibid, hal.
123.
[50] Ibid, hal.
124.
[51]Badan Nasional Standar Pendidikan. Panduan
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP, 2006, hal. 92
[53] Suparno, Teori-teori Belajar, (Jakarta : Dikti, 2002), hal.
62.
[54] Slavin,
Robert. E, Cooperative…, hal. 23
No comments:
Post a Comment