Wednesday 16 April 2014

"Makalah Pengertian Belajar" oleh Mukhlisin

BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Belajar dan Pembelajaran
“Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui pendidikan. Perubahan tidak hanya mengenai sejumlah pengetahuan, melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri dan mengenai segala aspek organisme atau pribadi seseorang”.[16]

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa belajar dapat merubah tingkah laku seseorang, perubahan itu terjadi disebabkan oleh pengalaman dan latihan-latihan yang dilakukan oleh belajar tersebut. Selanjutnya Winkel menjelaskan tentang pengertian belajar sebagai berikut “Belajar adalah suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan/skill, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkat laku yang progressif dan adaptif”.[17]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar bukan hanya mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan, melainkan lebih dari itu, karena berhubungan dengan pembentukan sikap, nilai, keterampilan dan pengetahuan, sehingga siswa yang belajar dapat mengadakan reaksi dengan lingkungannya secara intelektual, menyesuaikan diri untuk menuju kearah kemajuan dalam melakukan perbaikan tingkah laku sebagai hasil belajar. Defenisi lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Hudoyo mengemukakan : “Belajar merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif lama/menetap”.[18] Perubahan tingkah laku tersebut merupakan suatu tujuan akhir dari suatu proses belajar, oleh karenanya proses belajar harus dilakukan secara berkesinambungan.
Perubahan tingkah laku yang berlaku dalam waktu yang relatif lama itu dan disertai oleh usaha orang tersebut, sehingga dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi mampu mengerjakannya. Tanpa usaha, walaupun terjadi perubahan tingkah laku bukanlah belajar. Kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu merupakan proses belajar. Sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa belajar itu menyangkut proses belajar dan hasil belajar, maka orang tersebut baru mencapai tujuan belajar sementara.
Manusia sebagai makhluk sosial dan budaya yang selalu menciptakan pembaharuan, maka manusia yang tidak hanya meniru apa yang talah diciptakan oleh nenek moyang. Untuk itu manusia harus belajar agar ia mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya secara optimal, sehingga ia dapat berkarya demi kemakmuran hidupnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Fathurrahman mengemukakan bahwa “Belajar adalah segenap rangkaian/aktifitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya sendiri, berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran yang bersifat sedikit banyak permanen".[19] Selanjutnya Sardiman mendefenisikan belajar sebagai   berikut : “Belajar adalah suatu pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan”.[20] Karena itu jelaslah bahwa, belajar merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan dalam diri seseorang. mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sebagainya.
Defenisi lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Lismawati, “Belajar adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan dalam tingkah laku atau kecakapan manusia, yang bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis”.[21] Hal ini dimaksudkan bahwa dalam proses belajar itu akan terjadi perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang meliputi pengamatan, perasaan, dan sebagaimana yang bukan disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan. Selanjutnya Muhibbin Syah mengemukakan, “Belajar merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif lama/menetap”.[22] 
Menurut Hasbullah bahwa “Belajar adalah suatu proses mental yang mengarah pada penguasaan pengetahuan, kecakapan/skil, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku progresif dan adaptif”.[23] Oleh karenanya, belajar adalah suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus dan tidak mempunyai titik akhir. Apabila seseorang telah mencapai suatu pestasi belajar, maka orang tersebut baru mencapai tujuan belajar sementara.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.[24]

Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.
Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran atau media tertentu kepenerima pesan.

B.     Teori Belajar Konstruktivisme
Pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pembelajaran konstruktivis merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran konstruktivis, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Yuwono, mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan, pengetahuan bukan merupakan suatu gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan lebih menunjukkan pada pengalaman seseorang akan dunia, tanpa pengalaman seorang tidak dapat membentuk pengetahuan.[25].

Lebih lanjut Suparno menjelaskan dalam bukunya tentang pembelajaran konstruktivisme bahwa:
Guru tidak sekedar memberi pengetahuan pada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan yang ada dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran dengan memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajak siswa menjadi sadar menggunakan metode mereka sendiri untuk belajar. Pengetahuan yang dibangunnya sendiri dimanfaatkan untuk menghadapi pengalaman baru di alam sekitarnya.[26]

Dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme diharapkan siswa tidak hanya tergantung dari guru saja. Siswa harus lebih aktif dalam mencari segala sesuatu yang akan atau sudah dipelajari, tidak hanya menghafal materi yang sudah diajarkan saja tetapi harus benar-benar dipahami, sehingga pengetahuan lebih menunjukkan pada pengalaman seseorang akan dunia. Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan, karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang harus ditransfer begitu saja dari benak guru ke dalam benak siswa. Dengan demikian guru hanya bersifat mengarahkan, tidak ikut campur tangan penuh dalam proses belajar. Siswa dituntut untuk mandiri dan aktif mencari sendiri segala sesuatu yang berhubungan dengan materi yang dipelajari baik dalam diskusi maupun individu.
Suparno, mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruksivisme antara lain:
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif,
2.      Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa,
3.      Mengajar adalah membantu siswa belajar,
4.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir,
5.      Kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan
6.      Guru adalah fasilitator.[27]
De Vries dan Kohlberg dalam Suparno mengikhtisarkan beberapa langkah konstruktivisme yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
2.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.      Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.[28]

Julian dan Duckworth dalam Suparno telah merangkum hal-hal penting yang harus dilakukan seorang guru dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis, yaitu sebagai berikut.
1.      Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan kebingungan setiap murid.
2.      Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan penghargaan kepada siswa.
3.      Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek dalam proses belajar, karena “tidak mengerti” merupakan langkah awal untuk memulai.[29]

Berdasarkan kutipan diatas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran konstruktivisme keterlibatan siswa dalam pembelajaran sangat aktif dan kreatif, sementara guru harus secara sungguh-sungguh memperhatikan terhadap apa yang dilakukan siswa dalam kelompok belajar di kelas, dan hal yang penting harus diperhatikan dalam pembelajaran tersebut adalah guru harus memberika bimbingan secara merata kepada setiap kelompok.
C.    Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Triyanto “Cooperative mempunyai pengertian yaitu mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim untuk mencapai tujuan bersama. Belajar kooperatif merupakan suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan untuk membantu siswa satu dengan siswa yang lain dalam mempelajari sesuatu”.[30] Sementara itu, Sudjana mengungkapkan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda/heterogen”.[31] 
Karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Slavin adalah sebagai berikut :
1.              Tujuan kelompok, yaitu: kelompok merupakan tujuan, sehingga kelompok harus mampu membuat setiap siswa belajar.
2.              Tanggung jawab individual, yaitu: menjadikan setiap anggota kelompoknya menjadi lebih kuat pribadinya.
3.              Kesempatan sukses yang sama, yaitu: semua siswa mendapat kesempatan yang sama untuk berkonstribusi dalam timnya.
4.              Kompetisi tim, yaitu: sarana untuk memotivasi siswa dalam bekerja samadengan anggota timnya.
5.              Spesialisasi tugas, yaitu: tiap siswa diberikan tanggung jawab khusus untuk sebagian tugas kelompok.
6.              Adaptasi terhadap kebutuhan kelompok, yaitu: kebanyakan pembelajaran kooperatif menggunakan pengajaran yang mempercepat langkah kelompok dan mengadaptasi pengajaran terhadap kebutuhan individual.[32]

Sementara prinsip pembelajaran kooperatif menurut Sudjana  adalah sebagai berikut:
1.              Prinsip ketergantungan positif, yaitu: keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota, sehingga semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
2.              Tanggung jawab perseorangan, yaitu: keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.
3.              Interaksi tatap muka, yaitu: memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka, saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.
4.              Partisipasi dan komunikasi, yaitu: melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak.[33]

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa prinsip dari pembelajaran kooperatif adalah adanya ketergantungan antara satu siswa dengan siswa lainnya dalam kelompok kerja siswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru dalam proses belajar. Prinsip ketergantungan tersebut akan memperkuat sikap tanggung jawab siswa dalam belajar, sehingga hal tersebut dapat melatih diri siswa untuk berkomunikasi sesame siswa, dan berkomunikasi dengan guru sebagai pembimbing dan pemberi pelajaran serta komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Nasution mengemukakan bahwa ada tiga tingkatan dalam keterampilan-keterampilan kooperatif, yaitu sebagai berikut:
1.      Keterampilan kooperatif tingkat awal, yang meliputi: menggunakan kesepakatan, menghargai konstribusi, mengambil giliran dan berbagi tugas, berada dalam kelompok, berada dalam tugas, mendorong partisipasi, mengundang orang lain untuk berbicara, menyelesaikan tugas pada waktunya, dan menghormati perbedaan individu.
2.      Keterampilan kooperatif tingkat menengah, yang meliputi: menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, mendengarkan dengan aktif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengatur dan mengorganisir, menerima tanggung jawab, dan mengurangi ketegangan.
3.      Keterampilan kooperatif tingkat mahir, yang meliputi: mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan dan berkompromi.[34]

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa dibimbing tahap demi tahap, tuntutan kepada siswa dilakukan secara pelan-pelan sehingga siswa tidak merasa berat dalam menyelesaikan tugas, karena pembelajaran yang dilakukan tahap demi tahap dari tahap yang mudah sampai akhirnya ke tahap yang susah.
Siswono menjelaskan bahwa unsur-unsur dasar dalam pembelajaran cooperative adalah sebagai berikut:
a.       Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama.
b.      Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri mempelajari materi yang dihadapi.
c.       Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama
d.      Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok.
e.       Para siswa harus diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
f.       Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
g.      Setiap siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.[35]

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam pembelajaran cooperative tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan cooperative itu berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antara anggota kelompok.
Pembelajaran cooperative memungkinkan siswa untuk saling bertukar pengetahuan walaupun memiliki tingkat kemampuan berbeda-beda. Menurut Thompson,
Pembelajaran cooperative turut menambah unsur-unsur interaksi sosial. Didalam pembelajaran cooperative siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang siswa, dengan kemampuan heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa dan jenis kelamin dan suku.[36]

Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran cooperative diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, misalnya dengan memberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan, semua anggota kelompok harus bekerja dan bertanggung jawab dalam mencapai ketuntasan belajar.
Dalam Pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah, maka salah satu pendekatan yang cocok untuk diterapkan adalah melalui pendekatan cooperative. Karena melalui pembelajaran cooperative siswa dapat mengembangkan sikap saling kerja sama secara efektif dan efesien.
Hal tersebut dikarenakan, pembelajaran cooperative didasarkan atas pandangan konstruktivis yang dinyatakan oleh Herman Hudoyo bahwa,
anak secara aktif membentuk konsep, prinsip ataupun teori yang dipelajarinya. Mereka tidak begitu saja menerima secara mentah-mentah segala macam konsep, prinsip dan teori yang disajikan kepadanya. Mereka mengolahnya secara aktif, menyesuaikan dengan skema pengetahuan yang sudah dimiliki dalam struktur kognitifnya, dan menambah atau menolaknya.[37]

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran cooperative individu dapat membentuk pengetahuan baik secara individual maupun secara berkelompok, maka pembelajaran cooperative akhir-akhir ini menjadi model pembelajaran yang sangat dianjurkan karena pembelajaran cooperative memberikan kesempatan kepada individu untuk secara aktif membuat abstraksi, dan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada kelompoknya justru membantu dirinya sendiri lebih memahami materi tersebut.

D.    Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Ibrahim, M mengatakan bahwa “model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas”.[38] Dalam pembelajaran cooperative tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan cooperative itu berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antara anggota kelompok.
Trianto menjelaskan bahwa,
model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.[39]

Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran memberikan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat materi yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik. Beberapa macam model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar yaitu: pengajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah (problem base instruction), dan diskusi.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang belajar dalam kondisi pembelajaran kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.
Ibrahim, M, mengatakan bahwa “model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Kagen untuk melibatkan banyak siswa dalam memperoleh materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran”.[40] Lebih lanjut Herdiyan mengatakan bahwa “Numbered Heads Together adalah suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas”.[41]
Struktur yang dikembangkan dalam pembelajaran ini menghendaki siswa belajar saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Ibrahim, M menjelaskan bahwa “Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur yang tujuannnya untuk mengajarkan keterampilan sosial”.[42] Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif.  
Struktur tersebut dikembangkan sebagai bahan alternatif dari sruktur kelas tradisional seperti mangacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. “Suasana seperti ini menimbulkan kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut dalam mendapatkan kesempatan untuk menjawab pertanyaan peneliti”.[43]
Ibrahim mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu:
1.      Hasil belajar akademik stuktural, bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2.      Pengakuan adanya keragaman, bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.
3.      Pengembangan keterampilan sosial, bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.[44]

Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) dikembangkan oleh Spencer Kagen dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, menurut Ibrahim, guru menggunakan struktur empat langkah sebagai berikut:
Langkah 1,     penomoran (numbering): guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi mereka nomor, sehingga tiap siswa dalam tim tersebut memiliki nomor yang berbeda.
Langkah 2,     pengajuan pertanyaan: guru mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum.
Langkah 3,     berpikir bersama (Head Together): para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut.
Langkah 4,     pemberian jawaban: guru menyebutkan suatu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.[45]

Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren dalam Ibrahim antara lain adalah :
a. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi
b. Memperbaiki kehadiran
c. Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar
d. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
e. Konflik antara pribadi berkurang
f. Pemahaman yang lebih mendalam
g. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
h. Hasil belajar lebih tinggi.[46]

Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagaimana dijelaskan oleh Hill (dalam Ibrahim ) bahwa model NHT dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, mampu memperdalam pamahaman siswa, menyenangkan siswa dalam belajar, mengembangkan sikap positif siswa, mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu siswa, meningkatkan rasa percaya diri siwa, mengembangkan rasa saling memiliki, serta mengembangkan keterampilan untuk masa depan.
Oleh karenanya, jelaslah bahwa pembelajaran dengan menerapkan model kooperatif tipe NHT merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Model pembelajaran ini lebih mengedepankan aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akan dipresentasikan di depan kelas. Model pembelajaran ini selalu diawali dengan membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Masing-masing siswa dalam kelompok sengaja diberi nomor untuk memudahkan kinerja kelompok, mengubah posisi kelompok, menyusun materi, mempresentasikan, dan mendapat tanggapan dari kelompok lain.

E.     Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Salah satu tindakan yang dapat dilaksanakan untuk alternatif pemecahan problematika pembelajaran materi bangun datar segi empat adalah dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu dengan melakukan diskusi, praktikum, dan pengamatan dengan objek asli. Jadi guru, “meminta siswa untuk menyelidiki dengan membangun pengetahuan dalam benak siswa terlebih dahulu yaitu dengan mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sehingga dalam pembelajaran, motivasi, kreatifitas dan hasil belajar siswa meningkat”.[47] Pelaksanakan tindakan dan solusi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Menurut Suyono, sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT adalah:
 


No      Tingkat Pembelajaran                                       Kegiatan Guru
(1)                    (2)                                                               (3)                                    
 


1          Tingkat I                 -  Menjelaskan tujuan pembelajaran khusus (indicator)
            Persiapan                 -  Menginformasikan latar belakang materi dan
pentingnya materi
(1)             (2)                                                          (3)
 


-Mempersiapkan siswa untuk belajar
 


2          Tingkat II                -  Guru menjelaskan secara singkat tentang materi
            Pencapaian              -  Menyajikan informasi setahap demi setahap
-      Guru membagikan LKS kepada siswa
-      Guru membimbing siswa dalam mengisi LKS melalui kegiatan percobaan /praktikum
-      Guru meminta siswa untuk mempresentasikan hasil
     kerja kelompoknya ke depan kelas
-      Guru member kesempatan kepada siswa untuk
     mengajukan pertanyaan
-      Pemanjangan hasil

 


3          Tingkat III              -  Keaktifan siswa dalam bekerja kelompok
            Penilaian                  -  Evaluasi dalam bentuk essay
 


4          Tingkat IV              -  Siswa tuntas belajar
            Pencapaian Akhir    -  Siswa kreatif dan antusias dalam belajar.[48]
 



            Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dalam model pembelajaran kooperatif tipe NHT maka kreatifitas guru dan siswa sangat menonjol, hal ini dikarenakan guru diharapkan mampu membimbing siswa secara merata ke setiap kelompok kerja siswa, sehingga tidak ada siswa yang merasa tidak diperhatikan oleh gurunya. Sementara dari pihik siswa juga dituntut untuk sangat kreatif dalam menyelesaikan masalah yang diberikan oleh gurunya untuk diselesaikan dalam kerja kelompok siswa masing-masing. Kekreatifitas siswa akan terbentuk dikarenakan bimbingan guru yang diberikan secara adil ke setiap kelompok kerja siswa sehingga terbentuklah suasana pembelajaran yang sangat menyenangkan. Dan hal inilah yang menyebabkan pencapaian hasil belajar siswa dapat tercapai secara efektif dan efesien.
F.     Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Suyono mengatakan bahwa setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan model pembelajaran kooperatif model NHT adalah:
  1. Setiap anggota kelompok harus mengetahui jawaban yang merupakan hasil diskusi dari jawaban pertanyaan yang diberikan oleh guru.
  2. Dalam belajar matematika dengan menggunakan model ini, setiap peserta didik mempunyai nomor yang berbeda dari peserta didik lainnya.
  3. Setiap peserta didik mempunyai kesempatan dalam menjawab soal matematika yang diberikan guru.
  4. Peserta didik dituntut untuk bekerja sama dalam kelompok kecil untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam pelajaran matematika.
  5. Guru matematika memperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar, dan
  6. Memudahkan peserta didik dalam memahami konsep matematika atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.[49]


Lebih lanjut Suyuno menjelaskan bahwa kelemahan dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam suatu pembelajaran adalah:
  1. Diperlukan biaya dan waktu yang lama untuk pembuatan perangkat pembelajaran.
  2. Apabila jumlah kelompok dalam  kelas besar, guru matematika akan mengalami kesulitan untuk membimbing tiap kelompok yang membutuhkan bimbingan untuk memecahkan soal-soal yang diberikan oleh guru.
  3. Peserta didik yang pandai dalam matematika mempunyai kemungkinan tidak mau membantu temannya yang mengalami kesulitan dalam memecahkan soal matematika yang diberikan oleh guru.[50]

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa dalam proses pembelajaran kooperatif tipe NHT juga terdapat kelebihan dan kelemahannya. Oleh karena itu dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT guru harus mampu melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan efesien berdasarkan langkah-langkah yang telah ditentukan menurut konsep yang sebenarnya.

G.    Materi Bangun Datar Segi Empat
Materi bangun datar segi empat berkaitan materi sudut, garis-garis sejajar, operasi bilangan bulat, dan bilangan pecahan . Penjelasan kali ini kita akan membahas mengenai Bangun Datar Segi Empat yang terdiri dari : Persegi panjang, Persegi, Jajargenjang, Belah Ketupat, Layang - layang , dan Trapesium.
1.      Persegi Panjang
Sifat-sifatnya:

·   Sisi yang berhadapan sama panjang
·   Sisi yang berhadapan sejajar
·   Tiap-tiap sudutnya sama besar
·   Tiap-tiap sudutnya merupakan sudut siku-siku
Dari sifat-sifat diatas dapat disimpulkan adalah: Persegi Panjang adalah segi empat yang keempat sudutnya siku-siku dan sisi-sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar.
2.      Persegi
Sifat-sifatnya:

·   Sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar
·   Diagonalnya sama panjang
·   Diagonalnya berpotongan membagi dua sama panjang
Dari sifat-sifat diatas dapat disimpulkan adalah: Persegi adalah persegi panjang yang keempat sisinya sama panjang.
3.      Jajar Genjang
Jajar genjang dapat dibentuk dari gabungan sebuah segitiga dan bayangannya setelah diputar setengah putaran dengan pusat titik tengah salah satu sisinya.
Sifat-sifatnya:
·   Sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar
·   Sudut-sudut yang berhadapan sama besar
·   Jumlah besar sudut-sudut yang berdekatan adalah 180 derajat
·   Kedua diagonal pada setiap jajargenjang saling membagi dua sama panjang
4.      Belah Ketupat
Belah ketupat dibentuk dari gabungan segitiga sama kaki dan bayangannya setelah dicerminkan terhadap alasnya.
Sifat-sifatnya:
·   semua sisi sama panjang
·   kedua diagonal merupakan sumbu simetri
·   sudut-sudut yang berhadapan sama besar dan dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya
·   kedua diagonal saling membai dua sama panjang dan saling berpotongan tegak lurus
5.      Layang-layang
Layang - layang dibentuk dari gabungan dua segitiga sama kaki yang panjang alasnya sama dan berimpit.
Sifat-sifatnya:
·   Masing-masing sepasang sisinya sama panjang
·   Terdapat sepasang sudut berhadapan yang sama besar
·   Salah satu diagonalnya sumbu simetri
·   Salah satu diagonalnya membagi dua sama panjang diagonal lain dan tegak lurus dengan diagonal itu.
6.      Trapisium
Sifat-sifatnya adalah jumlah sudut yang berdekatan di antara dua sisi sejajar. Berdasarkan sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan bahwa trapesium adalah segi empat dengan tepat sepasang sisi yang berhadapan sejajar.

H.    Langkah Pembelajaran Materi Bangun Datar Segi Empat Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) bahwa fase-fase yang harus ditempuh dalam penerapan model kooperatif tipe NHT adalah :
a.       Fase membaca, menerjemahkan dan memahami masalah. Pada fase ini siswa harus memahami permasalahannya dengan jelas. Apabila dipandang perlu membuat rencana apa yang harus dikerjakan, mengartikan persoalan menurut bahasa mereka sendiri dengan  jalan berdiskusi dalam kelompoknya, yang kemudian mungkin perlu didiskusikan dengan kelompok lain. Jadi pada fase ini siswa memperlihatkan kecakapannya bagaimana ia memulai pemecahan suatu masalah, dengan :
1.      Menginterpretasikan soal berdasarkan pengertiannya.
2.      Membuat suatu kesimpulan tentang apa yang harus dikerjakannya.
b.      Fase pemecahan masalah. Pada fase ini mungkin saja siswa menjadi bingung apa yang harus dikerjakan pertama kali, maka peran guru sangat diperlukan, misalnya memberikan saran untuk memulai dengan suatu cara, hal ini dimaksudkan untuk memberikan tantangan atau menggali pengetahuan siswa, sehingga mereka terangsang untuk mencoba mencari cara-cara yang mungkin untuk digunakan dalam pemecahan soal tersebut, misalnya dengan membuat gambar, mengamati pola atau membuat catatan-catatan penting. Pada fase yang sangat menentukan ini siswa diharuskan membuat konjektur dari jawaban yang didapatnya, serta mencek kebenarannya, yang secara terperinci siswa diharap melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)      mendiskusikan dan memilih cara/strategi untuk menangani permasalahan
2)      memilih dengan tepat materi yang diperlukan
3)      menggunakan berbagai macam strategi yang mungkin.
4)      mencoba ide-ide yang mereka dapatkan pada fase 1
5)      memilih cara-cara yang sistematis
6)      mencatat hal-hal penting
7)      bekerja secara bebas atau bekerja bersama-sama (atau kedua-duanya)
8)      bertanya kepada guru untuk mendapatkan gambaran strategi untuk penyelesaian
9)      membuat konjektur atau kesimpulan sementara
10)  mencek konjektur yang didapat sehingga yakin akan kebenarannya.

c.       Fase menjawab dan mengkomunikasikan jawaban
Setelah memecahkan masalah, siswa harus diberikan pengertian untuk mencek kembali hasilnya, apakah jawaban yang diperoleh itu cukup komunikatif/dapat difahami oleh orang lain, baik tulisan, gambar ataupun penjelasannya. Pada fase ini siswa dapat terdorong untuk melihat dan memperhatikan apakah hasil yang dicapainya pada masalah  ini dapat digunakan pada masalah lain. Jadi pada intinya fase ini siswa diharapkan berhasil:
1)      mencek hasil yang diperolehnya
2)      mengevaluasi pekerjaannya
3)      mencatat dan menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara
4)      mentransfer keterampilannya untuk diterapkan pada persoalan yang lebih kompleks.[51]

Slavin lebih lanjut menjelaskan bahwa ada beberapa saran yang dapat membantu guru untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT di dalam kelas.
a.       biasakan setiap mengajar untuk menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, dengan berbagai strategi mengajar yang bervariasi.
b.      jelaskan tentang tujuan pengajaran yang diberikan, misalnya mengenai penggunaan matematika dalam pelajaran lain.
c.       selalu memberikan dorongan, semangat dan rasa percaya diri pada setiap siswa, hal ini sangat perlu, mengingat kebanyakan siswa bersifat :
1)      kurang pemahaman terhadap suatu permasalahan
2)      selalu tergantung kepada apa yang diinstruksikan oleh guru
3)      sangat kurang semangat untuk memulai
4)      memberi jawaban yang hanya menerka
5)      hendaknya memulai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dari permasalahan yang mudah dan sederhana.
6)      selalu mendiskusikan jawaban-jawaban yang didapat oleh siswa, sehingga siswa yang satu dapat memahami dan menghargai pendapat siswa lain.[52]

Sementara itu, Suparno merinci lebih jelas langkah-langkah kegiatan pembelajaran matematika dengan penerapan model kooperatif tipe NHT, yaitu :
1)      Menafsirkan/memahami masalah (interpreting)
2)      Eksplorasi secara spontan (exploring spontaneously)
3)      Pengajuan pertanyaan (posing problem)
4)      Eksplorasi secara sistematis (exploring systematically)
5)      Mengumpulkan data (gathering and recording data)
6)      Memeriksa pola (identifying pattern)
7)      Menguji dugaan (testing conjecture)
8)      Melakukan pencarian secara informal (expressing finding informally)
9)      Simbolisasi (symbolising)
10)  Membuat generalisasi formal (formalising generalitation)
11)  Menjelaskan dan mempertahankan kesimpulan (explaining and justifying)
12)  Mengkomunikasikan hasil temuan (communicating finding).[53]
Slavin menjelaskan beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam tahap persiapan model pembelajaran Kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut.
1)      Menentukan apakah kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan untuk tahap penanaman konsep atau sebagai latihan pengembangan kemampuan matematika siswa baik keterampilan, prosedur, maupun proses.
2)      Menentukan tujuan pembelajaran yang dapat dicapai melalui kegiatan pembelajaran matematika.
3)      Memilih pokok bahasan atau konsep yang dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran.
4)      Mengembangkan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dapat memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran
5)      Menyiapkan media manipulatif yang diperlukan atau media lain yang dapat efektif digunakan dalam kegiatan pembelajaran matematika.
6)      Menyiapkan setting kelas dalam kelompok kecil.[54]
Oleh karenanya, menurut Sudarsono pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:
1.      Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2.      Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
3.      Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
4.      Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.[55]

Pendapat sudarsono tersebut, dalam pembelajaran matematika siswa mempunyai pengetahuan dalam berpikir melalui proses akomodasi dan siswa juga harus dapat menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya. Siswa mengetahui informasi baru dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari secara logis, dalam pembelajaran ini harus bisa memahami dan berpikir sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut, jadi tidak tergantung kepada guru, siswa juga dapat mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah. Prinsip penemuan dapat diinspirasikan oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Ada dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dunia real ke dunia matematika. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyelesaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisasian. Kedua jenis ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai yang sama. Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik adalah pendekatan secara tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dan pengalaman sendiri. Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan dan siswa diharapkan dapat menemukan sendiri melalui matematisasi horizontal, pendekatan strukturalistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya dalam pengajaran penjumlahan secara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertilal diharapkan siswa dapat menemukan konsep-konsep matematika.





[16] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 35.

            [17] Winkel, W.S. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasido, 2000), hal. 151.

[18] Hudoyo, Herman, Mengajar Belajar Matematika, (Jakarta: Depdikbud, 2001), hal. 10.

[19] Fathurrahman, Pupuh, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 52.

[20] Sardiman, Interaksi..., hal. 73

[21] Widya, Lisnawaty, Evaluasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Mutiara Permata, 2006), hal.. 30.

[22] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Cet.3, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 25.

[23] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Ed.1, Cet.2, Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 71

[24] Ibid, hal. 99

[25]  Yuwono Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Prodes Belajar Mengajar, Bina Aksara, Jakarta, 2002, hal. 51


[26] Suparno, P. Filosofi Konstruktivisme dalam Pendidikan. Bandung: Pustaka Filosofi, 2002, hal. 23

[27] Ibid, hal. 24

[28] Ibid, hal. 70

[29] Ibid, hal. 68


[30] Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Konsep, Landasan Teoritik Praktis dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hal. 71

[31] Sudjana, Model-Model Belajar, (Jakarta: Erlangga, 2000), hal. 32.

[32] Slavin, Robert. E, Cooperative Learning (Teori, Riset, dan Praktik), (Jakarta: Nusa Media, 2000), hal, 26-28.

[33] Sudjana, Model…., hal. 34-35.

[34] Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Belajar Mengajar, (Bandung: Bina Aksara, 2001), hal. 102-103.

[35] (www///http=//re-searchengines.com/art cooperative learning, Diakses 23 Maret 2012).

[36] Thomson, Frames of Minds; The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Tenth-Anniversary Edition. Basic Books, 2007), hal. 26.



[37] Herman Hudoyo, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Dikti, 2008), hal. 21.

[38] Ibrahim, M, dkk. Pembelajaran Kooperatif. (Surabaya: University Press, 2000), hal. 2

[39] Trianto, Model…, hal. 7.


[40] Ibrahim, M, dkk. Pembelajaran…, hal. 28.

[41] Herdiyan, Model Pembelajaran NHT (Numbered Head Together), (Jakarta: Direktorat Pendidikan Sekolah Dasar, 2009), hal. 92.

[42] Ibrahim, M, dkk, Pembelajaran …, hal. 25.

[43] Sutaji, Imam. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Sekolah Dasar, 2001), hal.78.

[44] Ibrahim, M, dkk. Pembelajaran…, hal. 29.


[45] Ibid, hal. 30.

[46] Ibid, hal. 18.

[47] Suyono. Aziz, Pendekatan Keterampilan Proses Bagaimana Mengaktifkan Siswa Dalam Belajar. Jakarta : Gramedia, 2001, hal. 89

[48] Ibid. hal. 90

[49] Ibid, hal. 123.

[50] Ibid, hal. 124.

[51]Badan Nasional Standar Pendidikan. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP, 2006, hal. 92

 [52] Slavin, Robert. E, Cooperative…, hal. 22.

[53] Suparno, Teori-teori Belajar, (Jakarta : Dikti, 2002), hal. 62.

[54] Slavin, Robert. E, Cooperative…, hal. 23

 [55] Sudarsono, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning / dan Penerapannya dalan KBK, (Malang: UMN, 2002), hal. 69.

No comments:

Post a Comment

Berbahagialah ! 'Masalah Proses Pendewasaan'.

*Masalah adalah ujian pendewasaan* Berbahagialah ! Itulah awal dalam menyelesaikan sebuah masalah... #Jangan Diam Bicaralah !!! Dalam ...